Selamat siang menjelang sore..
selamat berak-tivitas, selamat menempuh hidup baru dan selamat menanti kabarnya
yang tak kunjung datang #apasik.. -_-
Bulan lalu, tepatnya tanggal 27
Mei 2016, saya dan teman-teman sehobi akhirnya berkunjung ke Gunung Papandayan
– kini namanya menjadi Taman Wisata Alam Gunung Papandayan.
Gunung Papandayan memiliki
ketinggian 2622 mdpl. Gunung ini merupakan salah satu gunung yang terletak di
Provinsi Jawa Barat, tepatnya di Kabupaten Garut. Papandayan sangat cocok untuk
didaki pendaki pemula dan bahkan yang bukan pendaki sekalipun, selain medannya
yang cukup mudah dan tidak terlalu terjal, Papandayan juga memiliki camp ground
yang luas di kawasan Pondok Saladah.
Cara menuju Gunung Papandayan?
Saya dan rombongan yang berjumlah
11 orang, berangkat ke Garut menggunakan Bus Primajasa, 7 orang dari Cililitan
dan 4 orang dari Lebak Bulus. Kami berangkat pukul 9 malam dari Cililitan yang
kebetulan adalah bus terakhir yang tersedia di Cililitan, sebenarnya masih ada
bus selanjutnya tapi jadwal keberangkatannya tidak tentu karna tergantung
situasi dan kondisi jalanan saat itu. Jadi bagi kamu yang ga suka di php-in
lebih baik naik busnya maksimal yang jam 9malam ya.
Perjalanan dari Cililitan menuju
Garut menurut saya termasuk lancar dan aman terkendali. Bus yang kami gunakan
juga nyaman jadi kami bisa tidur nyenyak sepanjang perjalanan menuju Garut.
Setelah 5 jam kami duduk sambil
bobo cantik dan tamvan, akhirnya kami sampai di terminal Garut sekitar pukul 2
malam/pagi. Sampai disana ada beberapa rombongan pendaki yang singgah juga.
Pilihannya antara Papandayan, Guntur atau Cikuray. Tidak lama setelah rombongan
Cililitan datang, bus yang dari Lebak Bulus datang.
Di sekitar terminal, ada banyak
pedagang oleh-oleh khas Garut dan juga warung nasi yang masih buka sampai
malam, bahkan mungkin 24 jam. Diantara jejeran warung itu, ada toilet umum yang
sangat terawat. Tidak seperti toilet dekat terminal yang lain, toilet umum ini
sangat bersih dan cukup luas. Ada beberapa toilet disana, jadi para pendaki
atau traveler lainnya ga perlu khawatir deh kalo mau buang air atau bahkan
mandi.
Tapi 1 yang harus diingat… JANGAN
LUPA BAYAR, KENCING Rp 2.000, MANDI Rp 5.000.
Dari Terminal Garut, kami naik
angkot Garut menuju pertigaan Cisurupan (kalo ga salah nama). Angkot disana
dari luar keliatannya macam angkot yang biasa di Jakarta, tapi ternyata tempat
duduknya menghadap ke depan semua, macam elf.
Sampai di pertigaan Cisurupan,
kami istirahat sebentar untuk mengisi perut yang sudah mulai lapar. Kami juga
berniat untuk membeli perbekalan untuk di Papandayan nanti. Tapi mungkin karna
kami yang terlalu pagi, pasar tradisional di sana belum buka. Tapi tenaang… ada
Alfama** di sana. Jadi, terpaksa sayur sayuran kami ganti dengan mie dan
sarden.
Setelah belanja tambahan
perbekalan, kami pun istirahat sebentar di rumah makan yang masih buka, yang di
depannya ada atm BN*.
Selesai makan, kami melanjutkan
perjalanan lagi dengan menggunakan mobil bak terbuka yang memang sudah ngetem
disana menuju Camp David. Sebelum sampai ke Camp David, kita harus melewati pos
pendaftaran Taman Wisata Alam Gunung Papandayan. Jadi, jangan lupa siapkan uang
untuk HTMnya yaa…
Sekitar pukul 5 pagi, kami sampai
di Camp David.
Papandayan, kamu sudah berubah….
Beberapa lokasi yang dulunya
hutan, sekarang berubah menjadi penginapan atau warung-warung pinggir jalan.
Camp David yang dulunya hanya lahan parkir yang terlihat sepi, sekarang sudah
ramai dengan pengunjung, warung-warung dan gerobak dagangan.
Cilok? Ada..
Cakwe? Ada…
Cimol? Ada..
Kaos bertuliskan“Papandayan”?
Adaa… Yang jual baanyaaak…
Kami istirahat kembali di Camp
David, untuk Sholat dan cemal cemil sambil menunggu langit menjadi terang.
Setelah berdiskusi, kami
memutuskan menuju Pondok Saladah terlebih dahulu untuk mendirikan tenda disana.
Berhubung Pengunjung Papandayan sudah semakin banyak, jadi kami harus mencari
tempat terlebih dulu agar kelangsungan hidup kami bisa tenang dan nyaman selama
2 hari 1 malam disana.
Menuju
Pondok Saladah, pengunjung akan disuguhi pemandangan yang menakjubkan. Meskipun
bukan merupakan gunung yang tinggi, tapi papandayan memiliki pesonanya sendiri.
Awal
pendakian, kita harus melewati kawah-kawah kecil dan aliran air belerang di
sisi kiri jalan. Jalur yang penuh dengan batu-batu besar dan kecil,
mengharuskan kita untuk melangkah dengan hati-hati agar tidak salah pijakan.
Bau
belerang disini cukup menyengat, jadi sangat disarankan untuk memakai masker
atau penutup hidung lainnya, yang penting bukan masker bangkoang atau masker
peel off yang wangi lemon itu.
Jika
kamu tidak ingin berat-berat membawa barang bawaan, disana juga ada jasa porter
ojek, alias porternya naik motor menuju Pondok Saladah.
Tidak
jauh dari tempat kami berfoto, ada warung yang cukup besar untuk sekedar
jajan-jajan dan istirahat sebentar. Ada banyak jajanan yang ditawarkan, salah
satunya teh manis hangaat… Warung ini juga yang biasanya menjadi batas terakhir
bagi pengunjung non pendaki, atau wisatawan.
Trek landai menuju Pondok Saladah |
Warung dekat kawah ternyata bukan warung satu-satunya yang kami lewati sebelum sampai di Pondok Saladah, masih ada warung lagi dengan macam-macam dagangannya. Salah satunya CILOK…
Sebelum
sampai disini, kami harus memilih antara 2 jalur, yaitu jalur yang cukup terjal
tapi cepat atau jalur memutar dengan trek yang cukup landai dan merupakan jalur
motor juga.
Jalur
lama untuk menuju Pondok Saladah ternyata mengalami longsor, jadi kami harus
menggunakan jalur baru yang belum ada papan petunjuk atau pemberitahuan kalau
jalur biasa sudah tidak bisa dilewati oleh pengunjung.
Bagi
yang baru pertama kali ke Papandayan, disarankan untuk bertanya ke pendaki
lainnya kalau ketemu persimpangan jalan. Karena ada beberapa pendaki yang
ternyata malah lurus ke arah jalur longsor.
Tidak
lama, kami sampai di POS 2. Di sini pengunjung wajib melaporkan diri ke petugas
yang ada di sana dengan menunjukkan lembar simaksi yang diisi di pintu gerbang Taman
Wisata Alam Gunung Papandayan sebelumnya.
Kali
ini jalurnya licin karena memang hanya tanah basah tanpa bebatuan, saya yang
menggunakan sepatu lari pun harus berjalan dengan pelan karena takut
terpeleset.
Sekitar
pukul setengah 9 pagi, kami sampai di Pondok Saladah.
Meskipun
masih pagi, sudah banyak tenda pendaki disini.
Disini,
pengunjung tidak perlu khawatir susah mendapatkan air, susah mck, atau
kekurangan makanan. Tapi 3 itu bisa kita dapatkan dengan modal… UANG…pastinya..
Di sini juga ada Mushola, jadi shalatnya bisa lebih nyaman.
MCK
Rp 2.000, bisa sekalian isi air
Air
bisa bayar bisa gratis, tergantung diliatin sama abang penjaganya atau engga.
Makanan??
Ada cilok, nasi, gorengan, air mineral, mie instan dan lain-lain….
Saya
dan teman-teman mendirikan tenda di tempat yang tidak terlalu dekat dengan
warung, kenapa? Karena, kami sudah bawa perbekalan, jadi kami harus masak
makanan yang sudah di bawa dan kalau bisa jangan jajan.. hm…
#pendakiHemat
#PendakiIrit #PendakiJarangJajan :D
Tenda
sudah berdiri dengan gagah, sekarang waktunya dia belajar jalan..#apasih
-_-
Setelah
tenda rapi dan menghabiskan makanan, kami – para wanita – memutuskan untuk
tidur siang. Jarang-jarang kan tidur siang di gunung :D
Udara
siang itu cukup dingin, jadi kami sudah mulai pakai jaket dan kaos kaki agar
tidur kami bisa lebih nyaman dan tidak terlalu kedinginan.
Janjinya..
Setelah dzuhur para wanita yang dan bang Gulit akan keliling Papandayan.
Tujuannya, Tegal Alun dan Hutan Mati, sebenarnya kami mau ke air terjunnya
juga, tapi berhubung saya sudah tidak ingat lokasinya, jadi kami tidak jadi ke
air terjun tersembunyi itu.
Setelah
bobok cantik, sekitar pukul 2 siang kami (Endah, Bunda, Shinta, Mba Wiyah,
Rahmat dan saya) berangkat menuju Tegal Alun dengan di antar oleh Bang Gulit –
bang Aan, Mang Yadi, A toto dan Mba Asih tetap di tenda untuk melanjutkan
istirahat.
Kami
menuju Tegal Alun melewati hutan belakang Pondok Saladah. Jalur yang kami
lewati bukan jalur yang biasa orang lain lewati, jadi kami sering tebak-tebakan
untuk memilih antara belok kanan atau belok kiri.
Kurang
lebih 30 menit, kami sampai di satu tempat yang penuh dengan pohon Edelweiss.
Katanya ini bukan Tegal Alun, tapi ini lebih bagus dari Tegal Alun. Tempat ini
lebih cocok disebut labirin edelweiss, karena pohon edelweiss yang cukup tinggi
dan tanpa petunjuk arah sedikit pun.
Puas
foto-foto disini, kami melanjutkan lagi perjalanan menuju Tegal Alun. Awalnya
saya kira kami tidak jadi ke Tegal Alun dan langsung turun menuju Hutan Mati,
ternyata teman-teman saya masih penasaran dengan Tegal Alun. Tapi berhubung
tidak ada petunjuk sama sekali untuk menuju Tegal Alun, kami lagi-lagi main
tebak-tebakan jalur, coba belok kanan dulu, kalau ternyata tidak sesuai dengan
ingatan jaman dulunya bang Gulit, kami kembali lagi ke persimpangan jalan lalu
mencoba belok kiri. Begitu terus sampai Tegal Alun.
Untungnya
kami berhasil menemukan Tegal Alun itu.
Sebelum
kami sampai di Tegal Alun, kami sempat bertemu dengan 3 orang pendaki yang
ternyata gagal sampai ke Tegal Alun. Mereka melewati jalur yang kami lewati,
tapi karena banyak pertigaan, sepetinya 3 pendaki itu langsung belok kanan ke
arah Pondok Saladah, bukan belok kiri ke Tegal Alun. Jadilah mereka kami
sarankan untuk pergi ke Labirin Edelweiss itu, dengan syarat.. hati-hati yang
mas..
Tegal
Alun ini, mirip-mirip Surken di Gunung Gede gitu. Tapi sayangnya edelweiss
disini kurang bagus, sudah banyak yang layu tidak seperti di Labirin Edelweiss.
Pukul 4.20 sore, kami sampai di
Hutan Mati,
Hutan mati terjadi akibat letusan
aktivitas vulkanik Gunung Papandayan, hasilnya di sini hanya ada pohon yang
kering dan gosong. Tapi masih ada pohon kecil yang tumbuh di sana.
Meskipun tidak se-hijau Tegal
Alun atau Pondok Saladah, Hutan Mati sering dipakai orang-orang untuk foto
prewedding.
Sekitar 15 menit kami foto-foto,
kami pun memutuskan untuk kembali ke Pondok Saladah.
Kami tidak lama di Hutan Mati,
karena kabut sudah turun lagi dan jarak pandang jadi terbatas.
Sebenarnya saya ingin mengambil
foto di tempat kembaran saya berfoto tahun lalu, tapi karena saya tidak ingat
sama sekali bentuk pohonnya, jadi rencana itu gagal. (ini blog kembaran saya
www.tanyashinta.blogspot.com)
Sesampainya di Pondok Saladah,
kami istirahat sebentar di warung sekaligus jajan cilok haneut di depan warung.
Seperti yang saya bilang di awal, di Pondok Saladah pengunjung tidak akan
kelaparan, yang penting ada uang.. yang jualan, banyaaak…
Setelah ciloknya habis, Bunda
Diah, Mba Wiyah dan Bang Gulit kembali ke tenda. Shinta dan Rahmat ke musholla
untuk shollat ashar. Sedangkan saya dan Endah menunggu di warung sambil curhat
ala ibu-ibu. Maklum, udah lama ga ketemu.. :D
Tidak lama, shinta dan rahmat
kembali dan belum mau ke tenda. Saya gantian pergi ke toilet, karena memang
jarak warung ke toilet tidak jauh, jadi saya berani ke toilet sendirian.
Belum gelap juga, pikir saya.
Tapi ternyata, yang terjadi
diluar dugaan, Setelah saya selesai dari toilet dan ingin kembali ke warung
cilok, ternyata kabut berhasil membuat saya kebingungan. Lagi kabut, sendirian,
dan lupa jalan pulang. Hastagaaa… pengen nangis rasanya.. :’(
Sejujurnya saat itu saya
benar-benar panik. Itu pertama kalinya saya terjebak kabut.
Saya mencoba untuk tenang dan
mengingat jalan menuju tenda. Apa yang terjadi? Saya nyasar ke tenda pendaki
lain. Tapi meskipun nyasar dan sedikit malu, akhirnya saya melihat jalan
pertigaan menuju tenda – Saat siang, saya hampir nyasar juga, yang seharusnya
belok kiri, saya malah belok kanan ke arah hutan. Untung saja saat itu saya
tidak sendirian – Karena kejadian siang itu, saya jadi ingat lokasi tenda saya
yang ada di hutan sebelah kiri jalan, dekat pohon edelweiss.
Saya pun sampai di tenda, dan
ternyata Endah, Rahmat dan Shinta belum pulang ke tenda.
Ya ampuuun… itu warung nyelip
dimana sih? Sampe ga keliatan gitu.. -___-
Setelah kurang lebih setengah
jam, Endah, Rahmat dan Shinta kembali ke tenda, ternyata mereka makan dulu di
warung tadi. Dan ternyata juga, Endah tidak mencari saya…… yaaelaaaaaah……
khawatir dikit napa ndaaah…
Setelah personil kumpul semua,
dan perut sudah terisi juga. Pukul setengah 9, kami (wanita) langsung
istirahat, meskipun 15 menit pertama malah ngobrol-ngobrol bukan langsung
tidur.
Sekitar pukul 3 malam, udara
dingin mulai terasa di jari-jari kaki. Berhubung pengukur suhu saya hilang
beberapa bulan yang lalu, saya jadi tidak tahu berapa suhu saat itu.
Tapi ya..cukup lah bikin saya ga
bisa tidur lagi.
Pukul 4 pagi, satu-per-satu penghuni
tenda pun bangun. Dan seperti biasa, saat bangun yang saya cari ada dua, bukan
kamu dan senyumanmu, tapi cemilan dan air minum.
Saat perut sudah lumayan kenyang,
kami pergi ke toilet untuk bersih-bersih.
Toilet yang ada sekitar 10 kamar,
ternyata penuh dan yang ngantre juga banyak.
Dari toilet belakang, ada
beberapa sinar dari senter pendaki yang ingin melihat sunrise di atas.
Waah.. rajin ya.. masih pagi udah
trekking..
Setelah beres, kami kembali lagi
ke tenda.
Pukul 6 pagi, dapur umum mulai
menyembulkan asapnya.. #eelaaah..
Menunya : nasi, mie instan,
sarden, dan telur
Ada yang rusuh saat masak.
Telur sisa 1, mie juga sisa 1.
Mba Asih yang jadi juru masaknya
pun bingung sendiri.
Para lelaki bilang a, tapi
wanitanya bilang b.
“masak telurnya dulu” kata (sebut
saja dia) kembang
“nah, aduk deh, sampe rada
mateng”
Hah? Ko aneh ya.. bikin omelet
tapi telornya jadi orak-arik
“baru deh masukin mienya, terus
aduk lagi”
Laaah.. ini mah bukan omelet!!!
“lah emang siapa yang mau bikin
omelet? Kan dari awal bilangnya mie telor”
Yahelaaaah…
Perut kenyang, Mang Yadi dan A
Toto lanjut keliling. Katanya mau ke Tegal Alun sama Hutan Mati.
Saya, dan yang lainnya mulai
bebenah untuk persiapan pulang.
Packing.. Packing.. Gulung..
Gulung..
A Toto dan Mang Yadi cuma keliling
sebentar dan tidak jadi ke Tegal Alun. Pukul setengah 10 kami sudah siap dengan
bawaan masing-masing.
Ada satu kejadian yang membuat
kami sedikit kesal. Pendaki yang memasang tenda di samping tenda kami dengan
santainya menebang batang pohon yang ada di dekat tempat kami. Bukan batang
pohon mati, tapi pohon dengan daun yang cukup lebat.
Untuk apa? Untuk bikin api
unggun.
Padahal sudah ada peraturan
tertulis tentang larangan menebang pohon.
Katanya pecinta alam atau
penikmat alam.. tapi ko ya, malah jadi Perusak Alam. Mentang-mentang bawa golok
jadi gampang bener nebang pohonnya. Duhelaaah…
#stoptebangpohon
#janganjadipendakialay
Dadah Pondok Saladah, sampai
jumpa lagi. Semoga kamu tetap indah ya…
1 jam berjalan,
kami sampai di warung cilok pertama (yang dekat longsoran). Di sana kami
istirahat sebentar sekaligus foto-foto.
Sudah puas foto-foto, kami lanjut
jalan lagi..
Hati-hati, jalan licin jangan
sampe terperosok kedalam kenangan masa lalu ya.. #eh
Pukul 11 siang, kami sampai di
camp david.
Ramainya...
Pedagang kelapa muda, cilok,
cakwe, batagor, cimol, dan oleh-oleh khas papandayan berjejer..
Tinggal pilih mau jajan apa.
Istirahat dan jajan, pukul 12 kami
kembali mencari mobil untuk turun ke Cisurupan.
Sampai di Cisurupan, kami singgah
dan makan lagi di warung nasi yang sebelumnya kami singgahi juga.
Dari Cisurupan lanjut lagi ke
Terminal Garut pakai angkot. Tapi berhubung baru 10 orang (A Toto pisah mobil,
karena mau ke Majalengka), sopir angkotnya belum mau jalan. Jadi kami harus
menunggu dulu sampai angkotnya benar-benar penuh alias 12-13 orang.
Dari Terminal Garut kami pisah
bus dengan Mang Yadi (mau ke Bandung), kami (sisanya) ber 9 orang naik Bus
Primajasa (lagi) yang ke Lebak Bulus.
Perjalanan selesai,
*tambahan :
- Inget, hari minggu sering macet
arah Garut – Bandung jadi harus bisa memperhitungkan waktu
- Ongkosnya berapa?
Primajasa (Cililitan dan Lebak
Bulus – Terminal Garut) Rp 52.000
Angkot dari Terminal Garut –
pertigaan Cisurupan Rp 20.000
Mobil Pick Up pertigaan Cisurupan
– Camp David Rp 20.000
semuanya kali 2 (total ongkos) =
Rp 184.000
-
Simaksi TWA Gn. Papandayan Rp
15.000 (katanya kalo siang beda harga)
-
Hati-hati, banyak pedagang cilok,
kalau ga mau jajan tolong pertebal keyakinan anda jangan sampai tergoda.
Terimakasih
banyak :
Bunda
Diah, Mang Yadi, A Toto, Bang Gulit, Mba Wiyah, Endah, Rahmat, Shinta, Bang
Aan, Mba Asih
sepertinya seru juga yah kesana
BalasHapusDanisa Butter Cookies